KECELAKAAN
PESAWAT
JAKARTA,
KOMPAS.com - Pihak Kementerian Perhubungan belum bisa
memastikan penyebab jatuhnya pesawat Trigana Air di Papua, Minggu (16/8/2015).
"Mengenai
penyebabnya menunggu KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi),"
kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Suprasetyo
dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Perhubungan, Minggu malam.
Suprasetyo mengatakan,
berdasarkan informasi dari masyarakat, pesawat jenis ATR 42 itu jatuh di
Distrik Okbape, Pegunungan Bintang setelah menabrak Gunung Tangok, pada Minggu
sore.
Penemuan yang
disampaikan oleh pihak Kementerian Perhubungan adalah berdasarkan laporan dari
masyarakat. Mengenai kondisi pesawat dan seluruh awak juga penumpang akan
dijelaskan setelah proses pencarian dan evakuasi yang akan dilanjutan esok
pagi.
"Soal ketiadaan
radar GPS, itu hasil investigasi KNKT," lanjut Suprasetyo.
Pesawat milik Trigana
Air dengan rute penerbangan Jayapura (Sentani)-Oksibil hilang kontak pada
Minggu (16/8/2018) pukul 14.55 WIB.
Pesawat dengan nomor
registrasi PK-YRN membawa sebanyak 49 orang penumpang terdiri dari 44 orang
dewasa, dua anak, dan tiga bayi. Pesawat
diawaki oleh pilot Capt Hasanudin, FO Aryadin, pramugari Ika N dan Dita Amelia,
serta teknisi Mario.
Pesawat berangkat dari
Sentani pada pukul 14.21 WIB dan seharusnya sampai di Oksibil pukul 15.16 WIB. Nasional Kompas
ANALISA
KECELAKAAN PESAWAT
Lebih spesifik kita
bicara tentang kecelakaan pesawat yang sedang ramai dibicarakan. Analisis saya,
ada beberapa penyebab seringnya kecelakaan pesawat:
Faktor
Teknis
Ada empat kemungkinan
penyebab yaitu cuaca, kondisi pesawat, infrastruktur penerbangan, dan human error.
Faktor
non-Teknis
Ada tiga kemungkinan
penyebab yaitu Regulasi pemerintah, Quality
control, serta kultur-struktur masyarakat.
Berikut penjelasannya.
1.
Kebijakan Check-Up
Semua transportasi
sebelum dioperasikan harus menempuh prosedur check-up terlebih dahulu terutama moda transportasi yang kompleks
dengan tingkat resiko kecelakaan yang tinggi seperti pesawat terbang. Menjadi
rawan ketika check-up dan pemberian
izin layak terbang diserahkan kepada maskapai. Faktanya, dalam beberapa
kesempatan ketika menunggu di bandara saya menemukan proses check-up pesawat ala kadarnya, yang
penting sudah dilakukan. Ini masuk akal sebagai upaya menekan biaya di tengah
ketatnya persaingan antar perusahaan maskapai. Harusnya prosedur check-up dan pemberian keterangan layak jalan dilakukan oleh
otoritas khusus yang dibentuk oleh pemerintah dengan Standarisasi keselamatan
yang tinggi.
2.
Kualitas infrastruktur
Banyak sekali ahli
penerbangan yang mengeluhkan buruknya kualitas dan manajemen infrasturktur
penerbangan di indonesia. Mulai dari minimnya fasilitas di bandara, manajemen
bandara yang kacau, seperti seringnya kasus kehilangan bagasi sampai leluasanya
pedagang asongan masuk ke area ruang tunggu bandara internasional. Belum lagi
sistem radar dan ATC yang sering
bermasalah karena tidak di-update
berkala dan tidak ada back-up
disebabkan alasan klasik seperti minim anggaran.
3.
Kondisi pesawat
Pesawat lion air yang
mengalami kecelakaan di Bali kemarin adalah pesawat keluaran 2012 alias pesawat
baru. Pada kecelakaan Lion Air di Pontianak februari 2011 silam, Dirjen
perhubungan udara membuat kebijakan melarang beberapa pesawat berbadan lebar
semisal Boeing-737 dan Airbus-330 untuk mendarat di beberapa bandara ketika
landasan basah demi alasan keamanan, namun kebijakan itu tidak dijalankan.
Harusnya pemerintah
mewajibkan maskapai penerbangan untuk memiliki pesawat yang diproduksi dalam
negeri (PT. DI) yang berbadan sedang karena lebih aman untuk beroperasi di
bandara-bandara indonesia, harganya lebih efisien serta Quality Control bisa terjamin karena produksnya dibawah kontrol
otoritas langsung.
4.
Human Error
Pertama, terkait buruknya
sistem Pendidikan Pilot. Sekolah pilot hanya menjaring orang kaya tetapi bukan
orang pintar dan ahli. Berdasarkan Survey, biaya pendidikan sekolah pilot yang
termurah ada di Bandung (Bandung Pilot Akademy) dengan biaya 620 juta, dan itu
termurah. Di Singapura (negara dengan tingkat keselamatan penerbangan terbaik
di Asia) biaya sekolah pilot tidak lebih dari
USD 30.000 (Sekitar 300 juta Rupiah) alias setengahnya
Kedua, kualitas SDM
bidang kedirgantaraan, SDM yang bekerja di bandara misalnya, walaupun tidak
semua, tapi kualitas dari sebagian diantaranya patut dipertanyakan dikarenakan
merajalelanya praktek suap dan nepotisme dalam rekrutmen pegawai. Makanya, tidak
heran jika sering terjadinya bagasi hilang, karena pegawai bandara tidak
sedikit yang mengeluarkan modal besar untuk mendapatkan pekerjaan.
Ketiga, kondisi
manajemen perusahaan maskapai penerbangan lebih ironis lagi. Sarusnya ada ketentuan
standar pelayanan minimun untuk maskapai swasta. Faktanya, demi mengejar
keuntungan maksimal maskapai rela menggadai keselamatan dan kenyamanan penumpang.
Belum lagi mentalitas masyarakat kita yang "mudah lupa." Ketika
sebuah Pesawat jatuh maskapai tidak terlalu rugi karena pesawat sudah diasuransikan,
branding maskapai tersebut dalam
waktu dekat akan kembali normal karena masyarakat kita cepat lupa, apalagi jika
maskapai gencar promo tiket murah di media.
5.
Nasionalisme
Perasaan nasionalisme
yang dianut bangsa ini secara tidak langsung berkaitan dengan maraknya kasus kecelakaan.
Kaitannya seperti rasa naionalisme yang notebene
merupakan ikatan yang temporal dan lemah berimbas pada lahirnya seperangkat
sistem dan regulasi yg juga lemah. Implikasinya tampak nyata, keuntungan lebih
utma dari keselamatan.
Kecelakaan sering kali
terjadi karena Pemerintah selaku pembuat regulasi tidak memberikan sanksi tegas
kepada operator trasportasi yang menggadai keselamatan penumpang. Misalnya lion
air yang selama 12 tahun beroperasi telah mengalami 13 kecelakaan udara, namun
tidak pernah mendapatkan sanksi apapun.
Source :
2. Facebook.com
1 komentar
Agen Bola
BalasHapusAgen SBOBET
Agen Judi
Bonus
Prediksi Bola Jitu
Pendaftaran x